Seorang pemimpin
ibarat pilot dalam penerbangan yang membawa penumpang menuju suatu tempat yang
diinginkan. Sebagai pilot, tentulah ia harus memahami dan menguasai semua
instrumen di dalam cockpit, agar penerbangan berjalan lancar, sehingga semua
penumpang selamat sampai tujuan. Kecakapan pilot mengendalikan pesawat dalam
berbagai situasi, merupakan faktor terpenting bagi keamanan dan keselamatan
selama penerbangan.
Untuk menjadi seorang
pilot, tentu bukan perkara mudah. Selain harus mengikuti pendidikan formal
selama beberapa tahun, ia juga harus melatih kecakapan mengendalikan pesawat
secara rutin, agar kemampuanya semakin terasah. Setelah pendidikan dan
pelatihan dilalui, masih ada satu tahap yang harus dijalani lagi, yaitu ujian
untuk mendapatkan lisensi layak terbang. Lisensi ini mesti diperbarui dalam
rentang waktu tertentu, sesuai jenis lisensi yang dimiliki.
Tahap-tahap yang harus
dilalui calon pilot itu, merupakan seleksi untuk menentukan apakah ia telah
cakap dan layak menjadi pilot atau tidak.
Dan tahapan seperti
ini juga berlaku bagi seseorang sebelum mendapat amanah menjadi pemimpin.
Namun, fase yang harus dilalui seorang pemimpin jauh lebih komprehensif dibanding
tahapan menjadi pilot. Selain itu, bekal yang harus dimiliki pemimpin melebihi
bekal yang dibutuhkan
seorang pilot.
Meski memiliki
kriteria dan standar yang berbeda, pilot dan pemimpin sama-sama memiliki tugas
mengantarkan orang yang telah memberinya kepercayaan sampai ke tujuan dengan
selamat. Agar harapan ini terwujud, kita mesti selektif memilih siapa yang
layak dan pantas menjadi pemimpin. Sebab, salah pilih bukan saja akan membuat
perjalanan menjadi tak nyaman, tapi juga mengancam keselamatan jiwa penumpang.
Dalam skala yang lebih
besar, seperti pemilihan presiden yang berlangsung sekarang, memilih pemimpin
merupakan bentuk tanggungjawab kita sebagai insan beragama dan warga negara
yang baik. Karena itu, sebelum memberikan amanat kepada seseorang menjadi
pemimpin, sebaiknya kita memiliki gambaran lebih awal tentang karakter seorang
pemimpin.
Gambaran ini sebagai
panduan agar kita tidak tersesat menentukan pilihan.
Pandangan pertama yang
perlu kita sepakati adalah pemimpin merupakan abdi masyarakat. Sebab,
kepemimpinan merupakan amanah (titipan) dari Allah maupun masyarakat yang harus
dipertanggungjawabkan. Dengan menyadari kepemimpinan merupakan amanah,
semestinya tak perlu terjadi konflik untuk merebut kekuasaan. Apalagi sampai
menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Pemimpin dan Penguasa
Dalam buku terkenalnya
as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, Ibnu Taimiyah mengatakan, karena kepemimpinan
merupakan amanah, maka untuk meraihnya harus dengan cara yang benar, jujur dan
baik. Tugas yang diamanatkan harus dilaksanakan dengan baik dan bijaksana.
Karena itu, ketika memilih pemimpin seharusnya masyarakat tidak melakukannya
berdasarkan golongan dan kekerabatan semata. Seorang pemimpin harus dipilih
berdasarkan keahlian, profesionalisme dan keaktifan.
Menurut Ibnu Taimiyah,
substansi kepemimpinan merupakan amanat yang harus diberikan kepada orang yang
benar-benar ahli, berkualitas, dan memiliki tanggung jawab yang benar dan adil,
jujur serta bermoral baik. Jika kriteria ini bisa dipenuhi oleh seorang pemimpin,
insyaallâh akan membawa pada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dan dinamis.
Amanah merupakan salah
satu prinsip dasar kepemimpinan Rasulullah, selain tiga prinsip lainnya. Yaitu
shiddîq (jujur), fathânah (cerdas dan berpengetahuan), amânah (dapat dipercaya),
dan tablîgh (berkomunikasi dan komunikatif dengan semua orang). Empat sifat
dasar ini juga bisa menjadi faktor yang membedakan antara penguasa dan
pemimpin.
Seorang penguasa,
biasanya mendapat kekuasaan dengan cara merebut dari pihak lain, lewat peperangan
atau penjajahan. Sebagian besar orang yang berada dalam kekuasaannya, juga tak
pernah merasakan kedamaian. Bahkan, tak menutup kemungkinan mereka akan berada
dalam kondisi tertekan, karena harus menuruti setiap kemauan penguasa. Penguasa
pun memiliki kewenangan tunggal dan bersifat mutlak, serta tak bisa diganggu
gugat.
Sedangkan pemimpin,
mendapat kepercayaan dari orang lain karena diakui kemampuan intelektual dan
kematangan emosionalnya. Pemimpin yang baik, akan selalu mendorong orang yang
dipimpinnya untuk mengembangkan potensi. Karena itu salah satu ukuran
kesuksesan pemimpin justru dilihat dari kesuksesan orang yang dipimpinnya.
Semakin banyak bawahan yang sukses, berarti ia berhasil menjadi pemimpin.
Begitu pula sebaliknya.
Sunnah Kepemimpinan
Rasulullah merupakan
tipikal pemimpin yang sukses melahirkan generasi penerus yang layak menjadi
pemimpin umat. Salah satu kunci sukses beliau adalah kesediaan untuk berbagi
dan menumbuhkan sikap tanggung jawab terhadap pekerjaan yang menjadi tugas
masing-masing. Faktor inilah
yang menjadi salah
satu intisari dari pesan beliau, “Kullukum râ’in wa kullukum mas`ûlun ‘an
rai’yatihi.” Semua dari kalian adalah pemimpin, dan kalian semua
bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.
Pemimpin yang bersedia
berbagi dengan orang lain, akan menunjukkan kematangan emosional, karena tak
akan menganggap dirinya paling benar. Sikap rendah hati ini memungkinkannya
bisa menerima masukan dari orang lain untuk mencari kebenaran.
Sikap ini pernah
ditunjukkan Abu Bakar Ass-Shiddiq ketika diangkat menjadi pemimpin umat setelah
Rasulullah wafat. Dalam sebuah penggelan pidatonya, Abu Bakar berkata,
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin, bukan karena aku yang
terbaik di antara kalian. Untuk itu jika aku berbuat baik, bantulah aku. Dan
jika aku berbuat salah, luruskanlah aku. Orang lemah di antara kalian, aku
pandang kuat posisinya di sisiku, dan aku akan melindungi hak-haknya. Orang
kuat di antara kalian, aku pandang lemah posisinya di sisiku, dan akan kuambil
hak-hak yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat, untuk aku kembalikan
kepada yang berhak menerimanya.”
Dari penggalan pidato
ini, ada beberapa pesan yang bisa diambil. Pertama, rendah hati. Posisi
pemimpin sebenarnya tidak berbeda dengan rakyat biasa. Karena itu, pemimpin tak
harus diistimewakan. Ia hanya orang yang perlu didahulukan, karena ia mendapat
kepercayaan dan mengemban amanat. Sikap rendah hati ini, biasanya mencerminkan
persahabatan dan kekeluargaan.
Kedua, terbuka untuk
dikritik. Kritik dari rakyat dipandang sebagai bentuk kepedulian mereka
terhadap kelangsungan hidup bersama. Hal ini merupakan partisipasi sejati.
Karena, sehebat apapun pemimpin, pasti memerlukan partisipasi orang banyak dan
mitranya. Prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini, harus diterima dengan
lapang dada.
Ketiga, berlaku adil.
Keadailan adalah faktor yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk kemakmuran
rakyat. Pemimpin harus mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu secara adil
dan menjauhkan dari dari sikap berat sebelah. Orang yang “lemah” harus dibela
haknya dan dilindungi. Orang kuat yang bertindak zhalim harus ditindak.
Wallâhua’alam bish-shahawâb.
0 komentar:
Posting Komentar